SEJARAWAN/ ILMUWAN NASIONAL BIDANG PENDIDIKAN

1. Ki Hajar Dewantoro


Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan nasional sekaligus menyandang bapak pendidikan. Nama asilnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Tapi pada tahun 1922 lebih dikenal menjadi Ki Hadjar Dewantara. Beberapa sumber menyebutkan dengan bahasa Jawanya yaitu Ki Hajar Dewantoro. Ki Hajar Dewantara lahir di daerah Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889 dan meninggal di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959 ketika umur 69 tahun. Selanjutnya, bapak pendidikan yang biasa dipanggil sebagai Soewardi merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, politisi, kolumnis, dan pelopor pendidikan bagi bumi putra Indonesia ketika Indonesia masih dikuasai oleh Hindia Belanda. Ki Hajar Dewantara merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu organisasi pendidikan yang memberikan kesempatan untuk para pribumi agar bisa mendapatkan hak pendidikan yang setara seperti kaum priyayi dan juga orang-orang Belanda. Ki Hajar Dewantara yang lahir pada tanggal 2 Mei kini diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara punya tiga semboyan yang terkenal yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho yang berarti di depan memberi contoh, Ing Madya Mangun Karso yang berarti di tengah memberikan semangat dan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberikan dorongan.
Salah satu bagian dari tiga semboyan buatan Ki Hajar Dewantara yaitu tut wuri handayani menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia hingga saat ini. Atas jasanya, namanya juga diabadikan di sebuah nama kapal perang Indonesia yaitu KRI Ki Hajar Dewantara. Potret Ki Hajar Dewantara juga  diabadikan di uang kertas pecahan dua puluh ribu rupiah pada tahun 1998. Tujuh bulan setelah meninggal, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi pahlawan nasional yang kedua oleh Presiden RI yang pertama, Sukarno, pada tanggal 28 November 1959 menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959. Ki Hajar Dewantara yang merupakan pahlawan nasional dari jawa lahir di lingkungan keluarga Kabupaten Pakualaman. Beliau adalah anak dari GPH Soerjaningrat atau cucu dari Pakualam III. Ia berhasil menamatkan pendidikan dasar di ELS atau semacam sekolah dasar di zaman Belanda. Kemudian Ki Hajar Dewantara melanjutkan studinya ke STOVIA yang merupakan sekolah dokter khusus putra daerah tetapi tidak berhasil menamatkannya karena sakit. Kemudian Ki Hajar Dewantara memasuki dunia jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan dan penulis di beberapa surat kabar. Contohnya seperti Midden Java, Soeditomo, De Expres,Kaoem Moeda, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer dan Poesara. Di hari-hari ketika berkarir sebagai jurnalis Ki Hajar Dewantara termasuk penulis handal. Tulisan Ki Hajar Dewantara mudah dipahami, komunikatif dan penuh dengan semangat anti penjajahan. Ketika Boedi Oetomo (BO) berdiri pada tahun 1908, Ki Hajar Dewantara masuk ke organisasi ini dan dia aktif di bagian propaganda untuk melakukan sosialisasi dan membangunkan kesadaran rakyat Indonesia. Khususnya orang Jawa. Bagaimanpun caranya, rakyat Indonesia di waktu itu harus sadar mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama Boedi Oetomo diselenggarakan di Yogyakarta juga diatur oleh Ki Hajar Dewantara.
Mendirikan Taman Siswa :
Ki Hajar Dewantara pada bulan September tahun 1919 bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pada tanggal 3 Juli 1922 setelah mendapat pengalaman mengajar, Ki Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau dalam Bahasa Indonesia Perguruan Nasional Tamansiswa. Tiga slogan Ki Hajar Dewantara di sistem pendidikan yang digunakannya saat ini sangat dikenal di kalangan siswa dan tenaga pengajar di seluruh Indonesia.
Tiga slogan dalam bahasa Jawa itu berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang dalam Bahasa Indonesia berarti yang di depan memberikan teladan, yang di tengah memberi semangat atau dukungan, yang di belakang memberi dorongan. Tentu semua siswa sangat paham dengan arti tut wuri handayani. Slogan ini tetap digunakan dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia hingga saat ini. Khususnya di Perguruan Tamansiswa.

( 5 Mei 2020, 11.18 WIB )


2. Fuad Hasan

                                            

Prof. Dr. Fuad Hassan adalah tokoh Psikologi, Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pernah dipegangnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (1985 – 1993). Tempat & Tanggal Lahir 26 Juni 1929, Semarang, Jawa Tengah, Hindia Belanda dan beragama Islam. Fuad Hassan adalah guru besar di bidang psikologi (psikologi pendidikan) pada Universitas Indonesia. Fuad Hasan juga pernah menjadi dekan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pada masa mudanya ia aktif dalam kegiatan kepanduan. Sejak SD sampai SMA, anak kedua dari empat bersaudara ini tinggal di Solo. Pada tahun 1950 ia berangkat ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI). Hingga lulus tahun 1958.

Pak Fuad, begitu biasa dia dipanggil, menempuh pendidikan:

§     S1-nya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 1958,
§     kemudian melanjutkan di University of Toronto Canada Fakultas Psikologi dan Filsafat pada tahun 1962,
§     S3-nya diperoleh dari Fakultas tempatnya mengajar, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tanggal 11 November 1967.

Prof. Dr. Fuad Hassan Guru Besar Emeritus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini mendalami psikologi klinis sebagai spesialisasinya. Sebagai pengajar di Psikologi UI, mata kuliah yang diajarnya antara lain:

§     Pendekatan Fenomenologi dalam Psikologi Klinis,
§     Kapita Selekta Psikologi Klinis dan Psikodiagnostik,
§     Pendekatan Fenomenologi dalam Psikologi Klinis,
§     dan Seminar Kesehatan Mental.

Beberapa karya beliau telah dibukukan serta dijadikan pedoman dan buku panduan pada beberapa mata kuliah Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yaitu:

§     Pengantar Filsafat Barat (1995),
§     Berkenalan dengan Eksistensialisme (1973),
§     Apologia, terjemahan karya Plato disertai pengantar tentang filsafat,
§     Renungan Budaya (1988),
§     Neurosis sebagai Konflik Existensial (1967, disertasi),
§     Kita dan Kami (2007).

Peran Fuad Hassan Bagi Pendidikan Indonesia

Sehari setelah dilantik menjadi menteri, 30 Juli 1985, Beliau mencanangkan “stabilitas kurikulum” sampai akhir Pelita IV. Administrasi juga dibenahi untuk menghilangkan Siap. Forum Pendidikan dan Kebudayaan pun dibentuk, yang anggotanya tokoh- tokoh pendidikan dan kebudayaan di masyarakat.
Ide itu pernah dilakukan Fuad di Departemen Luar Negeri. Forum inilah yang dipakai untuk:
§     menumbuhkan gagasan,
§     menampung kecaman, kritik, yang meningkatkan mutu pendidikan dan kebudayaan.
§     Meningkatkan mutu Pendidikan non formal,
§     Menekan promosi doktor yang boros,
§     Meningkatkan jaminan guru,
§     Menanggulangi perkelahian antar pelajar.
Bisnis skripsi pun dikecamnya. Di bidang seni, ia ingin membuat galeri nasional, yang memajang karya seni bangsa. 
Bidang seni juga ditekuninya. Ia dikenal mampu bermain biola dan berkuda dengan baik dan juga terampil melukis. Fuad tak segan-segan memamerkan keahliannya menggesek biola.
Suami Tjiptaningroem yang telah dikaruniai 2 anak ini juga dikenal sebagai perokok berat. Sehari bisa menghabiskan 2 bungkus kretek. Setelah punya cucu, Fuad barulah terpaksa menghentikan kebiasaan buruknya pada tahun 2002. Penyebabnya, sang cucu tidak mau didekati Fuad karena bau rokok.
Fuad Hassan wafat pada usia 78 tahun akibat menderita komplikasi penyakit gula, jantung dan paru-paru yang diderita sejak Oktober 2006. Beliau meninggal pada tanggal 7 Desember 2007.
Ayah:
Ahmad Hassan.
Istri:
Tjiptaningroem.

Gelar:
§    Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Politik dari Kyungnam University, Seoul pada tahun 1990.
§    Doctor Honoris Causa dalam bidang Filsafat dari Universiti Kebangsaan, Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun 1990.

Riwayat Karir
§    Asisten pada Balai Psikoteknik Departemen P & K (1952-1956) 
§    Asisten Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran UI (1956-1958) 
§    Tenaga Ahli diperbantukan pada Koti G-5 (1965) 
§    Anggota Tim Ahli bidang Politik Staf Presiden (1966-1968) 
§    Dosen Seskoad, Seskoal dan Lemhanas (1966-1976) 
§    Anggota DPR/MPR-RI (1968-1970) 
§    Dekan Fakultas Psikologi UI, merangkap Direktur Lembaga Studi Strategis Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1972-1976) 
§    Duta Besar RI untuk Mesir, merangkap Sudan, Somalia, dan Jibouti (1976-1980) 
§    Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri (1980-1985) 
§    Anggota MPR-RI (1982) 
§    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1985 – 1988)
§    Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan V (23 Maret 1988 – 17 Maret 1993) 
§    Ketua Yayasan Lembaga Indonesia-Amerika (LIA).

Karya Tulis : 
§     Neurosis sebagai Konflik Existensial (1967, disertasi),
§     The Two Basic Modes of Togetherness (1971) 
§     Berkenalan dengan Eksistensialisme (1972) 
§     Berkenalan dengan Eksistensialisme (1973),
§     Pengalaman Seorang Haji (1974) 
§     Heteronomia (kumpulan esei, 1977)
§     Renungan Budaya (1988),
§     Pengantar Filsafat Barat (1995),
§     Apologia, terjemahan karya Plato disertai pengantar tentang filsafat,
§     Kita dan Kami (2007).

( 5 Mei 2020, 11.03 WIB)


3. Dewi Sartika




Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya bernama Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana dan  Ibunya bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas. Artikel diambil dari Biografiku.com. Silahkan di copy sebagai bahan referensi, Mohon cantumkan sumber. Masa kecil dewi sartika pada saat itu Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
 Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama. Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya.
Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran. Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam biografi Dewi Sartika diketahui bahwa, Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
 Prestasi Dewi Sartika dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi khususnya untuk kaum perempuan membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966.

( 5 Mei 2020, 13.06 WIB)



4. Raden Ajeng Kartini


RA Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara. Nama lengkap Kartini adalah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Mengenai sejarah RA Kartini dan kisah hidup Kartini, ia lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya. Nama ayah Kartini adalah Ario Sosroningrat. saat itu, Ario Sosroningrat adalah seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera ketika Kartini lahir. Ibunda dari Kartini adalah putri dari istri pertama sang bangsawan, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, anak dari Kyai Haji Madirono dan Nyai Haji Siti Aminah. Keduanya adalah tokoh agama di Telukawur, Jepara. Silsilah Kartini bisa ditelusuri hingga Hamengkubuwono VI. Lebih dari itu, Garis kebangsawanan Bupati Sosroningrat dapat dilacak kembali ke para bangsawan dari istana Kerajaan Majapahit. Sejak Pangeran Dangirin menjabat sebagai bupati di Surabaya pada abad ke-18, leluhur Sosroningrat menjabat banyak posisi berpengaruh di Pangreh Praja. Ayah Kartini dulunya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan Hindia Belanda waktu itu mewajibkan seorang bupati agar beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah tidak memiliki garis bangsawan tinggi, maka ayah Kartini menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakam keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah pernikahan itu, maka ayah Kartini berhasil menjadi bupati di Jepara. Menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan yang bernama R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dari semua saudara sekandung, Kartini merupakan kakak perempuan tertua. Kakek dari Kartini yang bernama Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati ketika usia 25 tahun dan terkenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati yang memberi pendidikan khas Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini yang bernama Sosrokartono adalah seorang yang pandai dalam berbahasa. Sampai usia dua belas tahun, Kartini mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School). Salah satu pelajaran yang dipelajari oleh Kartini adalah bahasa Belanda. Tetapi setelah usia dua belas tahun, Kartini dilarang meninggalkan rumah karena sudah bisa dipingit. Meskipun berada di rumah, Ia aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Ia mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca. Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi. Dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu. RA Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda. Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemikiran RA Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi. Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum. Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu.
 Cita-cita luhur RA Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi. Itu dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan RA Kartini. Pada tahun 1903 pada saat RA Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri. Meskipun begitu, suami RA Kartini ykni K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat memahami apa yang menjadi keinginan istrinya itu. Sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama. Sekolah itu berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka. Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama “Sekolah Kartini”. Sepeninggal RA Kartini, kemudian seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini yang berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R Soepratman. Beliau kemudian menbuat lagu yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini‘. Inilah yang menjadi salah satu prestasi dari RA Kartini.

( 5 Mei 2020, 14.20 WIB )


5. K.H Ahmad Dahlan


K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwisy (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
 K.H Ahmad Dahlan bergabung sebagai anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia. Ia adalah sosok pemuda pembaharu yang sangat mengedepankan idealisme dalam hidupnya terutama dalam bidang pendidikan. Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pemikiran KH Ahmad Dahlan bahwa Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Di bidang pendidikan, ia mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu. Yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Ia terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu. Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme,dan kejawen.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya. Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta.

( 5 Mei 2020, 13.46 WIB)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

FOTO DAN BIOGRAFI FOTOGRAFER NASIONAL YANG SUDAH GO INTERNASIONAL

JEJAK SEJARAH FOTOGRAFI